Tahlilan Sebagai Kearifan Lokal Islam di Nusantara

October 03, 2018
Islam hadir ditengah kehidupan manusia tidak  dalam kondisi hampa budaya. Aspek sosial budaya yang sudah tertanam di masyarakat bukan produk fisik yang dapat dihancurkan dengan bom . Perlu ada tahapan - tahapan untuk merubah sebuah kebiasaan untuk sampai pada i'tiqod dan karakter. 

Tahlilan yang dituduh sebagai praktik Tasyabuh kepada kaum kafir khususnya Hindu, merupakan suatu amalan yang telah menyebar luas di negara Indonesia khususnya Jawa. Titik perdebatan paling kentara adalah soal kenduren yaitu acara tahlilan yang dilaksanakan pada tujuh hari setelah meninggalnya seseorang. 

Beberapa sebab kerasnya penolakan pada acara kenduren ini diantaranya adalah karena dianggap sebagai bid'ah. Alasan memberatkan shohibul musibah serta menyerupai kebudayaan hindu juga menjadi sebab mengapa tahlilan kenduren di anggap sesat. 

sebagai salah satu tradisi islam di nusantara yang sudah mengakar kuat di masyarakat, kiranya perlu kedalaman akal dan kejernihan hati dalam menghukumi persoalan ini. Tidak sekedar tekstualitas sumber dalam proses istinbath hukum, pengenalan pada konteks dan hakikat dari yang dihukumi juga  harus dipahami secara seksama sebagai modal awal untuk memberikan fatwa. 

Penulis tidak ingin menghukumi perkara tahlilan dari segi ahli fiqih, terlalu banyak pembahasan yang pada akhirnya berujung pada ikhtilaf ulama. Saya hanya akan membahas beberapa kearifan lokal pada praktik tahlilan yang sesuai dengan ajaran islam.

tahlilan sebagai tradisi islam di nusantara

TAHLILAN Sebagai Tradisi Islam Nusantara

Salah satu alasan mengapa para pembenci tahlil menolak tahlilan adalah pemberatan ahlul musibah atas hidangan kepada para tamu maupun mereka yang hadir mendoakan pada acara tahlilan. Golongan tersebut justru menyarankan untuk membawa makanan kepada shohibil musibah, bukan memakan hidangan dari tuan rumah. 

Mengenai hal ini, Imam Syafii telah berkata dalam kitabnya Al Umm 
وَاُحِبُّ لِجِیْرَانِ الْمَیِّتِ اَوْذِيْ قَرَابَتِھِ اَنْیَعْمَلُوْا لاَھْلِ الْمَیِّتِ فِىْ یَوْمِ یَمُوْتُ وَلَیْلَتِھِ طَعَامًا مَا
یُشْبِعُھُمْ وَاِنَّ ذَلِكَ سُنَّةٌ.

Saya menyukai bagi tetangga mayit atau kerabatnya memasakkan makanan untuk keluarga mayit pada hari kematian dan malam harinya yang dapat mengenyangkan. Karena hal itu termasuk sunah dan menjadi kenangan yang baik serta  termasuk perbuatan orang dermawan sebelum dan sesudah kami.” (Al-Umm, 1/317)

pendapat imam syafii tersebut didasarkan pada hadits nabi yang berbunyi :
Fatwa Imam Syafie di atas ini adalah berdasarkan hadis sahih:
قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنِ جَعْفَرَ : لَمَّا جَاءَ نَعْيُ جَعْفَرِ حِیْنَ قُتِلَقَ الَ النَّبِ ي صَ لَّى اللهُ عَلَیْ ھِ وَسَ لَّمَ :
اِصْنَعُوْا لآلِ جَعْفَرِ طَعَامًا فَقَدْ اَتَاھُمْ مَایُشْغِلُھُمْ . (حسنھالترمزى وصححھ الحاكم)
Tatkala berita kematian Ja’far, Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam- berkata : Masakkan makanan untuk keluarga Ja’far, sungguh telah datang kepada mereka sesuatu yang menyibukkannya.” (HR. Tirmizi, no. 998, dinyatakan hasan oleh Abu Dawud, no.  3132, ibnu Majah, no.  1610)

Secara tekstual, perintah yang dianjurkan adalah membawa makanan. Untuk masyarakat di Indonesia, bukan makanan yang diantar kepada keluarga mayyit namun beras dan uang. Penggantian makanan menjadi beras atau uang apakah kemudian menjadikan bid'ah pula?

Membawa beras atau uang untuk keluarga si Mayyit termasuk pada adat kebiasaan setempat. Hal ini akan lebih baik jika dikembalikan kepada qowaidul fiqhiah 

والأصل في عاداتنا الإباحة حتى يجيء صارف الإباحة
“Asal ( hukum ) pada masalah adat kami adalah boleh, sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum boleh ( kepada hukum lain ).” [ Risalah Fi Qowaidil Fiqhiyyah : Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di )

kaidah fiqh fiqh di atas memperbolehkan suatu kebiasaan asalkan tidak ada dalil yang mengharamkan. Selain itu, di dalam salah satu kitab fenomenal karangan Al-imam An Nawawi, Syarh Shohih Muslim (15/166) disebutkan :

قَالَ الْعُلَمَاءُ قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ رَأْيِي أَيْ فِي أَمْرِ الدُّنْيَا وَمَعَايِشِهَا لَا عَلَى التَّشْرِيعِ
“Para ulama’ berkata : ( Maksudnya ) ucapan nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam- yang berasal dari pendapat beliau sendiri dalam masalah dunia dan kehidupannya bukan dalam masalah penetapan syari’at”.

Maka sudah jelas bahwa hukum adat istiadat yang tidak bertentangan dengan syariat maka diperbolehkan. Adapun adat yang dimaksud di sini adalah 

عِبَارَةٌ عَمَّا اسْتَقَرَّ فِي النُّفُوسِ مِنَ الأُْمُورِ الْمُتَكَرِّرَةِ الْمَقْبُولَةِ عِنْدَ الطَّبَائِعِ السَّلِيمَةِ

“Ungkapan tentang suatu yang telah tetap dalam jiwa-jiwa dari perkara-perkara yang berulang-ulang yang diterima di sisi tabi’at-tabi’at yang masih selamat.” [ Al-Asybah Wa Nadzoir )

Kearifan lokal bergotong royong sudah kental di masyarakat indonesia. Islam Nusantara sebagai konsep aplikatif berusaha mengakomodir kearifan lokal untuk penanaman nilai - nilai islam. Bukan hanya soal memberikan makanan atau uang, fakta di lapangan, masyarakat berduyun - duyun membantu pemakaman, pembuatan tarub untuk para tamu, memasakkan makanan termasuk pula mendoakan si mayyit dengan ikhlas. 


Penulis sendiri pernah menghadiri tahlilan kematian yang dilaksanakan tanpa adanya hidangan apapun. Masyarakat tetap mau mendoakan mayyit. Bahkan ketika tahlilan tersebut tetap terdapat hidangan, uang yang didapat dari sumbangan warga, digunakan untuk membeli hidangan yang disajikan sebagai sedekah dari keluarga mayyit yang pahalanya diniatkan untuk si mayyit. 

Ini adalah salah satu kearifan lokal yang masih tetap terjaga hingga saat ini. Lalu, dimanakan letak kesalahan dari adat tersebut? 

Ungkapan diharamkannya berkumpul di tempat mayyit (al mattam ) seperti yang disebutkan oleh imam syafii, erat kaitannya dengan kebiasaan jaman jahiliyah. Ketika seorang mati, orang - orang berkumpul untuk meratapi, menangisi dan mengulang - ulang masa lalu mayyit yang pada akhirnya justru menyakitkan keluarga. Bahkan, terdapat kebiasaan membayar para penangis agar ikut menangisi kepergian si mayyit sebagai tanda betapa dicintainya si mayyit. 

Kebiasaan tersebut masih lekat di masyarakat arab pada saat itu. Inilah kenapa, Imam Syafii kemudian membenci Al-Mattam ( berkumpul di tempat mayyit ). Berbeda dengan yang terjadi di Indonesia. Berkumpulnya orang - orang di tumah si mayyit bukan bertujuan untuk meratapi, tapi justru menemani si keluarga mayyit agar tidak tenggelam dalam kesedihan. Selain itu, berkumpulnya masyarakat adalah dengan mendoakan mayyit bukan untuk sesuatu yang sia - sia. 

Dari sejumlah pemikiran di atas, tahlilan adalah tradisi islam di nusantara yang sepatutnya tetap dijaga dan dilestarikan sebagai bentuk kearifan lokal yang islami. Selain itu, semangat gotong royong yang terpupuk dan terjaga di masyarakat tetap saja harus dijadikan sebagai budaya yang baik. 

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »