Islam Nusantara

Warta Ansor

Warta NU

Recent Posts

contoh Tradisi islam nusantara dan Tradisinya Di Indonesia

October 26, 2018
Pengertian Islam Nusantara dalah suatu wajah atau wujud empiris agama Islam yang dikembangkan di Indonesia dengan menyesuaikan kondisi, dan urf kondisi di nusantara. Islam Nusantara lahir sejak abad ke -16 sebagai hasil dari kontekstualisasi, interaksi, iterprestasi, indigenisasi serta vernakularisasi terkait ajaran agama islam yang universal. Ajaran tersebut sesuai dengan realitas sosial dan buadya di Indonesia. Term ini untuk pertama kalinya, secara resmi dijadikan sebagai dasar gerakan yang ditetapkan dalam Muktamar ke-33 di Jombang pada tahun 2015 silam. 

Dari pengertian di atas, Islam Nusantara bukan merupakan madzhab baru yang kemudian patut dibenturkan dengan syariat agama. Islam nusantara tidak jauh beda dengan Islam di Yaman, Islam di Arab saudi, Islamnya Mesir dan negara lainnya. Perbedaan mendasar ada para penerapan fiqh yang berbeda sesuai dengan madzhab yang di anut serta kondisi masyarakat. 

Kehadiran Islam di Nusantara yang merupakan infiltrasi budaya dengan nilai - nilai Islam di mulai pada awal masa dakwah islam di Nusantara. Dengan adanya fakta bahwa Islam tidak hadir dalam keadaan hampa budaya, maka jelas ada benturan antara keduanya. Ulama berusaha memasukkan nilai Islam di dalam pelaksanaan ritual budaya, 

Contoh Tradisi Islam Nusantara
Contoh Tradisi Islam Nusantara di Indonesia


Beberapa contoh Islam Nusantara yang ada di Indonesia antara lain :

Contoh Tradisi Islam Nusantara


  • Tradisi Tabot


Salah satu tradisi islam nusantara adalah upacara Tabot. Upacara Tabot atau Tabuik adalah upacara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat Bengkulu. Upacara tersebut dimaksudkan untuk mengenang Hasan dan Husein, cucu Rasulullah yang juga putra Sayyidina Ali Bin Abi Thalib. Sebagaimana ditulis dalam sejarah, keduanya gugur di dalam peristiwa Karbala. 

Perayaan tersebut menurut sumber lokal diketahui pertama kali dilaksanakan oleh Syaikh Burhanudin atau dikenal pula dengan nama Imam Senggolo di tahun 1965. 

Menurut sejarah, Imam Senggolo menikah dengan putri bengkulu dan memiliki keturunan. Keturunan Syaikh Burhanudin dan wanita bengkulu tersebut disebut dengan keturunan Tabot. 

Istilah Tabot merupakan bahasa arab "Tabut" yang dapat diartikan sebagai kotak kayu atau semacam peti. Acara ini dilsakanakan pada hari 1-10 Muhamarom setiap tahunnya. 

Terdapat sembilan rangkaian acara di dalam tradisi Tabot. Di antaranya :

1. Mengambil Tanah
2. Duduk Penja
3. Meradai
4. Menjara
5. Arak Penja
6. Mengarak Penja dengan serban putih
7. Gam
8. Arak Gendang
9. Tabot Tabuang



  • Tradisi Sekaten



Di jogjakarta, Tradisi Sekaten merupakan ritual rutin dan sangat dinantikan oleh Msayarakat. Sekaten sendiri sebenarnya berasal dari kata "Syahadatain" yang kemudian oleh orang jawa disebut Sekaten. Inti dari tradisi ini adalah mengenang jasa wali songo yang telah menyebarkan agama Islam di Jawa. 

Seperti diketahui, Sunan Bonang sebagai salah satu dari sesepuh walisongo sangat mahir dalam menggubah syair jawa serta memainkan gamelan. Melalui gamelan beliau mendakwahkan Islam. Pada setiap pukulan gamelan, Sunan Bunang mengiringinya dengan bacaan Syahadatain. Akulturasi budaya tersebut kemudian dipahami sebagai bentuk islam yang ramah dan rahmah.

Pada acara tersebut, gamelan yang digunakan adalah gamelan Sekaten atau Ki Sekati yang terdiri dari dua rancak yaitu Kyai Kanjeng Guntur Madu, dan Kyai Kanjeng Nogowilogo. Keduanya dibuat oleh Sunan Giri dan sampai sekarang menjadi pengiring dalam kegiatan Sekaten. Hingga kini acara Sekaten masih lestari di Yogyakarta dan menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan asing maupun domestik.




  • Tradisi Rabu Wekasan



Rabu Wekasan adalah hari rabu terakhir di bulan Safar. Menurut keterangan yang bersumber dari beberapa kitab, pada hari rabu safar adalah hari dimana turunnya bala dan musibah. Oleh karenanya, sebagian masyarakat kemudian mengadakan selamatan dengan melakukan sholat sunah 100 rakaat. 

Di Bangka, tradisi islam nusantara Rabu Wekasan dilaksanakan di desa Air Anyer, Kecamatan Merawang. Masyarakat membawa ketupat tolak bala, air wafa dan makanan bersama. 

Acara diawali dengan berdirinya seseorang di depan pintu masjid dan menghadap keluar lalu mengumandangkan adzan. Lalu disusul dengan pembacaan doa bersama-sama. Selesai berdoa semua yang hadir menarik atau melepaskan anyaman ketupat tolak balak yang telah tersedia tadi, satu persatu menurut jumlah yang dibawa sambil menyebut nama keluarganya masing-masing. 

Kemudian dilanjutkan dengan acara makan bersama. Setelah itu, masing-masing pergi mengambil air wafak yang telah disediakan untuk semua angngota keluarganya. Setelah selesai acara ini mereka pulang dan bersilahturahmi ke rumah tetangga atau keluarganya.

Acara ditandai dengan adzan seorang muadzin yang berdiri di depan masjid dan menghadap ke arah luar. Setelah itu, dilakukan doa bersama, setelah dosa usai, masyarakat yang hadir melepaskan anyaman janur yang ada di ketupat sembari menyebut nama keluarga atau seseorang yang ingin dijauhkan dari bala musibah.

Setelah itu, acara selanjutnya adalah makan bersama. diteruskan dengan mengamibl air wafak yang boleh dibawa pulang untuk keluarga.

Tradisi Islam Nusantara dan Budaya


Budaya adalah hasil karya manusia yang sesuai dengan keyakinan dan watak masyarakat. Karena sudah mengakar menjadi keyakinan dan kebiasaan, kebudayaan tersebut tidak bisa dihilangkan begitu saja. Sejarah telah menceritakan bagaimana kebudayaan yang didasari dengan keyakinan, ketika dibenturkan atau dihilangkan, yang terjadi kemudian adalah konflik serta peperangan.

Walisongo faham betul bahwa watak Indonesia selama ribuan tahun telah meyakini adanya kekuatan roh - roh. Tidak jarang, roh dianggap seperti dewa yang mampu memberi rejeki, membawa musibah bahkan kematian. Karenanya, walisongo tidak berusaha merubah kebudayaan dengan kekerasan, namun membawa kebudayaan kepada kebudayaan lain.

UTSMAN BIN AFFAN MEMBAKAR Al-QURAN, APAKAH PENGHINAAN?

October 23, 2018
Islam Nusantara ~ Senin, (22/10/2018) pada peringatan Hari Santri Nasional (HSN) ke-3 yang dilaksanakan di Lapangan Alun - Alun Limbangan terjadi pembakaran bendera HTI. Peristiwa pembakaran bendera HTI tersebut kemudian dipelintir menjadi opini baru yaitu pembakaran kalimat tauhid. 

Propaganda yang memaksa orang agar berkeyakinan bahwa mereka yang benci HTI beserta atributnya berarti membenci Islam. Mereka yang merusak atribut HTI maka termasuk menghina Islam. Itulah paradigma yang coba dipaksakan oleh neo separatis islam untuk menghancurkan para pembela NKRI dan Pancasila. 

Kaum awam pun ikut berkomentar, yang terjadi kemudian, opini ngawur bertebaran di media sosial. Tuduhan dan hinaan mendera Banser yang selalu konsisten mempertahankan NKRI dengan Pancasilanya. Tuduhan kafir serta ancaman perang pun tak segan digemakan. 

Berkaca dari sejarah, tidak hanya Banser, namun juga Utsman Bin Affan yang merupakan menantu dari Nabi Muhammad. Seorang sahabat yang masuk dalam golongan Khulafaur Rasyidin rupanya pernah membakar Al-Qur'an. Tentu tidak mungkin menuduh Utsman Bin Afan sebagai penghina Al-Quran. Apa yang dilakukannya telah dipertimbangkan dan didasarkan pada alasan yang kuat.

Pembakaran Bendera HTI di Garut oleh Banser
Mengapa Keranda Mayat tidak dibakar? Karena bukan bendera HTI


Pembakaran Al-Quran Oleh Utsman


Terjadi pertikaian dikalangan sahabat terkait dengan Qira'at Al Quran. Dengan semakin luasnya daerah muslimin, tentu saja terjadi perbedaan qiraat yangt terjadi di beberapa wilayah. Setiap dari mereka, mengaku bersumber dari nabi Muhammad dan bersanad sambung dengan apa yang telah nabi ajarkan. 


Dalam kitab Sahih Bukhari,  Fadhailul Qur'an bab Jam'ul Qur'an diterangkan bahwa pada saat terjadinya perang Irminiyah serta Adzabiijaan, seorang sahabat yaitu Hudzaifah Ibnul Yaman mengatakan bahwa telah terjadi perbedaan cara membaca ( Qiraat) Al-Quran yang sangat banyak sehingga ditemuilah wajah qiraat dari beberapa sahabat. Sebagian dianggap salah meski terdapat pula yang benar. 

Setelah mendengar kabar tersebut, Utsman Bin Affan RA kemudian menyeragamkan bacaan dengan sistem kodifikasi utsmani dengan bacaan yang tsabit. Selain itu, Utsman Bin Affan memerintahkan untuk membakar Al-Quran yang tidak sesuai dengan kodifikasi yang telah beliau tetapkan. 

Sayyidina Ali Karohmallohu Wajhahu, pun menegaskan bahwa apa yang ditegaskan oleh Utsman bin Affan adalah suatu tindakan yang tepat. Penegasan tersebut tertuang dalam ucapan beliau : 

لو لم يصنعه عثمان لصنعته
“Jika seandainya Utsman tidak melakukan hal itu maka akulah yang akan melakukannya.”

Pembakaran Al-Quran secara keseluruhan yang dilakukan oleh Utsman Bin Affan tidak termasuk perbuatan penghinaan Al-Quran. Hal tersebut dilakukan agar tidak ada orang yang salah faham terhadap bacaan Al-Quran sekaligus tidak menjadikan Al-Quran sebagai tameng untuk berlindung oleh pemahaman yang salah.

Pembakaran Bendera HTI dan Pembakaran Al Quran


Beda kasus namun hampir sama konteksnya. Konteks pembakaran Al-Quran tentu saja bukan karena kebencian terhadap Al-Quran. Yang beliau lakukan adalah menghancurkan pendapat orang - orang yang mengaku bahwa qiraatya yang benar. 

Apa yang dilakukan oleh Utsman Bin Affan jika terjadi di masa kini, bisa jadi akan viral dan dipelintir oleh para pembenci utsman. 

Konteks yang ingin dihilangkan oleh Utsman pada pembakaran Al-Quran adalah kesalahan membaca Al-Quran serta mematahkan golongan - golongan yang melahirkan qiraat yang salah terhadap Al-Quran. Ciri khusus Al Quran yang dibakar adalah yang tidak sesuai dengan kodifikasi Utsmani.

Sama seperti yang dilakukan oleh Banser. Pembakaran bendera bertuliskan Tauhid harus dipahami konteksnya. Konteks pembakaran bendera oleh Banser adalah pelarangan ormas HTI di Indonesia. Ciri khususnya tentu saja bendera yang biasa digunakan oleh HTI. 

Jika anda ingin membuktikan apakah Banser pembenci kalimat Tauhid atau tidak? carilah kasus pembakaran kalimat tauhid yang tidak identik dengan bendera HTI. Misalkan penutup keranda mayyit. Pernahkah Banser membakar kalimat tauhid yang ada di penutup keranda mayyit? JIka memang Banser pembenci kalimat tauhid, maka, apapun warnanya, ketika terdapat kalimat tauhid, maka pembakaran akan dilsakanakan. 

Namun, kenyataan dilapangan tentu berbeda. Pelarangan bendera tauhid telah secara khusus dilakukan untuk bendera tauhid yang identik dengan ormas HTI. Jika tidak identik dengan ormas HTI, pernahkah banser membakarnya?

Banser Bakar Bendera HTI? Logika Yang Salah

October 23, 2018
Pembakaran Bendera HTI
Pembakaran Bendera ISIS di Libanon

Di dalam ilmu logika, terdapat kesalahan berfikir yang lazim terjadi. Salahs satunya adalah kesalahan berfikir 
Fallacy of Four TermFallacy of Four Term merupakan kesalahan berfikir karena terburu - buru menggunakan empat term dalam menggunakan rumus silogisme. 



Contoh permasalahan yang bisa mewakili kasus di atas adalah :

Orang afrika berkulit hitam criminal harus dihukumDia berkulit hitam, Jadi, Dia adalah orang afrika

Faktanya, Dia adalah Andi, Andi memang orang yang berkulit hitam, namun dia asli keturunan Indonesia yang lahir di kota Papua. Hal tersebut terjadi juga karena kesalahan berfikir yang terlalu menggeneralisasikan sesuatu yang bukan pada tempatnya. 

Yang membakar bendera tauhid adalah kafir, Bendera HTI adalah kalimat tauhidoleh karena itu, membakar bendera HTI adalah kafir. 

Faktanya, bendera HTI dengan Bendera HTI adalah berbeda. Yang dibakar oleh Banser bukan bendera Tauhid, namun bendera HTI yang disahkan sebagai ormas terlarang di Indonesia. 

Analogi selanjutnya adalah pembakaran bendera ISIS. Jika yang dibakar adalah bendera ISIS yang juga berisikan kalimat tauhid, apakah kemudian pembakaran tersebut juga merupakan pembakaran bendera Tauhid yang notabene merupakan ekspresi kebencian terhadap Tauhid Laa Illaha Illallah?

Pengambilan keputusan yang tergesa - gesa seperti di atas sebenarnya merupakan kesalahan logika yang tidak seharusnya terjadi jika memahami konteks maksud yang diinginkan. 

Namun, HTI memang lihai dalam menggulirkan opini. Kalimat Tauhid yang tertulis dalam lambang kebesaran mereka, selalu saja digunakan sebagai senjata untuk menyerang musuh - musuhnya. Mereka sengaja membawa opini bahwa bendera mereka adalah kalimat tauhid. Siapa yang membenci kalimat tauhid, maka kafirlah ia. Dengan begitu, mereka bersembunyi di balik kalimat tauhid sekaligus membenturkan musuh - musuhnya dengan masyarakat awam.

Untuk itu, dalam menyikapi pembakaran bendera HTI tersebut, harus dipandang secara adil. Tidak pantas kiranya menuduh pembakar bendera HTI di samakan dengan pembakar bendera Tauhid.

Melihat Kembali Akar Masalah 

Perlu kiranya kita pahami bahwa kafirnya pembenci kalimat tauhid merujuk pada kebencian orang akfir yang tidak percaya kepada Allah. Mereka membenci kalimat Tauhid dalam bentuk apapun karena mengekspresikan keyakinan bertuhan kepada Allah, berittiba kepada Nabi terakhir Muhammad SAW. 

Maka, jika seseorang melakukan sesuatu dengan keyakinan bahwa kalimat Tauhid adalah bohong, dusta dan tidak benar, maka dengan atau tanpa tindakan pembakaran kalimat tauhid, sesungguhnya dia telah kafir. 

Dengan melihat pada akar masalah tersebut, terlihat jelas illat perkara kalimat tauhid. Banser bukan pembenci kalimat tauhid, mereka setiap minggu berdzikir menggaungkan kalimat tauhid. Apakah mungkin Banser membenci kalimat Tauhid? Tentu saja tidak. 

Pembakaran Bendera HTI atau Kalimat Tauhid? 


Sebenarnya, bukan hanya HTI yang menggunakan kalimat tauhid sebagai bendera resminya. ISIS sebagai organisasi teroris yang diakui kesesatannya, juga menggunakan lafal tauhid sebagai lambang kebesarannya. Ketika terjadi pembakaran bendera ISIS misalnya, apakah pantas kemudian dianggap kafir mereka yang membenci ISIS dengan mengekspresikannya melalui pembakaran bendera ormas khawarij tersebut. 

Dulu sempat terjadi pembakaran bendera ISIS besar - besaran setelah aksi kejam ISIS yang viral di Internet. Warganet, meskipun ada yang mengecam tindakan pembakaran tersebut, tidaklah menuduh bahwa para pembakar bendera ISIS adalah pembenci kalimat Tauhid. Mereka faham bahwa bendera tersebut adalah bendera kelompok yang bersembunyi di balik kalimat Tauhid. Sementara para pembakar, membenci ISIS yang rupanya diekspresikan melalui pembakaran bendera. 

Kasus serupa sebenarnya terjadi di Indonesia, tepatnya di Garut. Beberapa anggota Banser membakar bendera HTI pada peringatan Hari Santri Nasional yang dilaksanakan di Lapangan Limbangan pada hari Senin kemarin (22/10/2018). 

Anggota Banser tersebut bukan ingin membakar kalimat Tauhid, namun bendera HTI. Ketika kalimat Tauhid sudah dijadikan sebagai bendera suatu kelompok. Maka, pengkhususan lambang tersebut tidak lagi mewakili islam secara keseluruhan. Namun, harus dikembalikan pada maksud kelompok tersebut.

Merah dan Putih adalah warna bendera Indonesia. Ketika terdapat pakaian yang kebetulan menggunakan bahan berwarna merah putih, maka tentu saja tidak menjadi permasalahan jika pakaian tersebut kemudian di bakar. Namun, ketika bahan merah putih tersebut kemudian dijadikan bendera. Lalu dibakar. Ini persoalan yang berbeda.

Maka harus dipahami, serupa tidak berarti sama. Ada makna yang membedakan tiap sesuatunya. Maka, makna inilah yang harus ditelaah sesuai dengan niat dan maksud yang terkandung. 

Siapa Pencetus Islam Nusantara? Benarkah Walisongo?

October 22, 2018
Islam nusantara lagi - lagi menjadi bahan perbincangan publik. Celakanya, mereka yang tidak faham tentang maksud dari Islam Nusantara ikut andil dalam perdebatan tersebut yang pada akhirnya terjadilah pergesekan faham yang telah melenceng dari maksud aslinya.

Ada ketakutan yang dirasakan oleh para penentang Islam Nusantara seperti rawan masuknya faham islam liberalis atau tercampurnya islam dengan kesyirikan atau kemaksiatan yang terkandung dalam tradisi. Ketakutan ini memang mendasar dan dimaklumi, ini adalah pandangan sempit yang memandang Islam Nusantara sebagai sebuah tradisi, bukan sebagai sikap dan metode dakwah.

Pertanyaan yang mula - mula harus dijawab adalah siapa pencetus Islam Nusantara? Benarkah Walisongo?

Pencetus Islam Nusantara


Sebagai negara muslim terbesar di dunia, patut dicatat bahwa masuknya Islam di Indonesia melalui jalur damai tanpa adanya pertumpahan darah maupun perpecahan. Dari sekian teori yang dikenal mengenai masuknya Islam di Indonesia, strategi penyebaran Islam di Indonesia dilaksanakan dengan menggunakan jalur perkawinan, perdagangan, islamisasi kultural serta pendidikan.

Salah satu tokoh yang memiliki peran sentral dalam menyebarkan islam di Indonesia adalah ulama serta penguasa pada zaman tersebut yaitu raja atau sultan. Di pulau jawa misalnya, ulama yang menyebarkan islam disebut dengan walisongo. Walisongo merupakan wadah yang berisikan ulama - ulama yang terdiri dari sembilan orang. 

Jasa walisongo sudah sangat dikenal oleh muslim dan non muslim di Indonesia. Kesembilan wali tersebut dikenal sebagai penyebar agama islam di Jawa, siapa saja mereka yang menyebarkan Dakwah Islam nusantara?

Pencetus Islam Nusantara
Masjid Kudus, Contoh Bangunan Tradisi Islam Di Nusantara

Walisongo


Syech Maghribi atau syaikh maulana malik ibrahim merupakan ulama yang disebut - sebut paling senior dalam menyebarkan islam di pulau Jawa. Beliau dikenal juga dengan nama Sunan Gresik atau Sunan Ibrahim Asamarkandi. Namun, keterangan lain yang  didapat dari buku Atlas Walisongo, Sunan Gresik merupakan pandhita tershohor dari Arab yang masih keturunan Zainal Abidin. 

Beliau pada awalnya datang ke desa Sembalo di dekat Desa Leran Kecamatan Manyar Kabupaten Gresik. Beliau juga berusaha mengislamkan raja Majapahit. Meskipun kemudian Raja Majapahit tidak memeluk agama Islam, Sunan gresik diberi tanah di desa Gapuro yang kemudian dijadikan sebagai tempat didirikannya pesantren untuk mendidik kader - kader pendakwah agama.

Sunan Ampel (Raden Rahmat) 
Sunan Ampel adalah pengganti dari Syaikh Ibrahim As-Samarkandi, beliau adalah putra sunan gresik. Sunan Ampel memiliki pesantren Ampel Denta yang dari tangan beliaulah kemudian muncul ulama besar lainnya seperti Sunan Giri, Raden patah, Raden Kusen, Raden Bonang serta sunan Drajat.Salah satu strategi dakwah yang digunakan adalah dengan menikahkan juru dakwah Islam dengan putri penguasa bawahan kerjaan majapahit. Dari strategi ini, Sunan Ampel membentuk jaringan keluarga muslim yang kemudian akan menjadi cikal bakal penyebaran dakwah di berbagai daerah di Nusantara. .

Sunan Bonang 
Sunan Bonang tidak hanya ahli fiqh, kemampuan beliau dibidang seni, sastra maupun arsitektur disebut - sebut sangat luar biasa. 

Awal dakwah yang dilaksanakan oleh Sunan Bonang dilakukan di daerah Kediri. Kemudian beliau juga berdakwah di Lasem. Sunan Bonang berdkawah melalui wayang, tembang serta beberapa syair bernuansa tasawuf salah satunya adalah Suluk Wijil 26 Dalam. 

Sunan Kalijaga
Di antara tokoh walisongo yang paling dikenal adalah Sunan Kalijaga. Kepiawaian beliau dalam bidang seni dan budaya, menjadikan beliau dapat berdakwah kepada orang jawa melalui wayang dan tembang. Beliau ahli dalam menggubah tembang serta tokoh atau lakon carangan yang bernuansa tasawuf. 

Beliau berani memadukan budaya dengan nuansa islam yang hingga kini masih terasa. Meskipun pada awalnya Sunan Kalijaga adalah perampok, namun setelah berguru kepada Sunan Bonang, Sunan Kalijogo kemudian bertobat dan akhirnya menjadi mubaligh besar yang dikenal sakti dan cerdas.

Selain keempat wali tersebut, terdapat sunan gunung jati, sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Sunan Drajat dan Sunan Giri yang merupakan tokoh walisongo.

Mereka merupakan pencetus islam Nusantara meskipun tidak menggunakan istilah "Islam Nusantara". Sama seperti Ahlu Sunnah wal Jamaah, yang mana pada saat nabi tidak ada istilah tersebut, namun kemudian implemantasinya dikristalisasi menjadi term Islam Ahlu Sunnah Wal Jamaah.

Dakwah Islam Nusantara Mencontoh Al - Qur'an

October 08, 2018
Dakwah Islam Nusantara ~ Ketika nabi Muhammad mengutus Muadz bin Jabal yang bertugas sebagai Qadli di Yaman, Rasulullah sempat melakukan wawancara dengannya. Pertanyaan yang diajukan oleh nabi Muhammad tentu saja soal penetapan putusan hukum pada suatu perkara. Dialog tersebut kemudian diabadikan dalam Hadits riwayat Tirmidzi


عَنْ مُعَاذٍ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص بَعَثَ مُعَاذًا اِلَى اْليَمَنِ فَقَالَ: كَيْفَ تَقْضِى؟ فَقَالَ: اَقْضِى بِمَا فِى كِتَابِ اللهِ. قَالَ. فَاِنْ لَمْ يَكُنْ فِى كِتَابِ اللهِ؟ قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ. قَالَ: فَاِنْ لَمْ يَكُنْ فِى سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ ص؟ قَالَ: اَجْتَهِدُ رَأْيِى. قَالَ: اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ وَفَّقَ رَسُوْلَ رَسُوْلِ اللهِ. الترمذى 2: 394
Dari Mu’adz, bahwasanya Rasulullah SAW mengutus Mu’adz ke Yaman. Beliau SAW bersabda, “Bagaimana kamu memutuskan perkara ?”. (Mu’adz menjawab), “Saya memutuskan dengan hukum yang ada di dalam kitab Allah”. Rasulullah SAW bersabda, “Kalau tidak terdapat di dalam kitab Allah ?”. Mu’adz berkata, “Saya akan memutuskan dengan sunnah Rasulullah”. Rasulullah SAW bersabda, “Kalau tidak terdapat di dalam sunnah Rasulullah SAW ?”. Mu’adz menjawab, “Saya berijtihad dengan pendapatku”. Rasulullah SAW bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah”. [HR. Tirmidzi juz 2, hal. 394]
Dallil sunnah di atas merupakan salah satu rujukan hukum keabsahan dalam berijtihad. Yang menarik justru ada pada pertanyaan nabi ketika nabi bertanyaan, Jikalau tidak ada ada dalam kitab maupun sunnah, apa yang akan dilakukan oleh Muadz ?

Secara expisit, Nabi telah faham bahwa diutusnya Yaman yang lokasinya berjarak ribuan kilometer dari Madinah, akan menemui beberapa kasus yang tidak terjadi di madinah. Al Qur'an diturunkan oleh Allah sesuai kondisi dan situasi yang terjadi pada saat itu, ketika Al Qur'an tidak menjelaskan suatu perkara berkaitan dengan budaya arab, ada hadits nabi yang dijadikan sebagai sumber istinbath hukum. 

Kedua jenis sumber hukum tadi kesemuanya mengomentari budaya arab masa jahiliyah. Ketika masuk pada ranah budaya negara lain, perlu penyesuaian budaya sesuai dengan keputusan dalam Al Qur'an dan Sunnah.

Nabi Muhammad faham betul bahwa di tempat lain, ada budaya - budaya lokal yang tidak sama seperti di jazirah Makkah dan Madinah. DI arab, budaya lokal berupa syair arab yang dikenal memiliki nilai sastra tertinggi tetap berada di hati masyarakat. 
Di Indonesia, bukan syair yang menjadi idntitas utama budaya nusantara. Corak budaya animisme, dinamisme serta hindu adalah corak paling utama yang ada di Indonesia, maka penanganan terhadap masyarakat yang berbeda budaya, harus di sesuaikan.

Menurut KH Afifudin Muhajir, Islam nusantara yang telah diterapkan oleh walisongo beserta penerusnya yaitu para ulama ahlusunnah wal jamaah di negara ini adalah " paham dan praktik keislaman di bumi nusantara sebagai hasil dialektika antara teks syariat dengan realitas dan budaya setempat". Dengan kata lain, di dapat dua inti sari dari pemahaman islam nusantara :

Tradisi Islam di Nusantara
  1. Islam Nusantara sudah ada sejak zaman awal datangnya Islam di Indonesia. Hanya saja, tidak ada label islam nusantara dalam gerakan awal islam di Indonesia. Penamaan Islam Nusantara hanya sebagai penegasan konsep islam yang ramah dan rahmah kepada seluruh alam.

    Sama seperti penamaan "ahlu Sunnah Wal Jamaah".penamaan golongan ini meskipun pada zaman nabi tidak secara tegas mengarah pada istilah Ahlu Sunnah wal Jamaah, namun kemudian, golongan firqotun najiyah yang mengikuti Ashabii dan Jamaah adalah golongan yang selamat.
  2. Islam Nusantara adalah islam yang merubah budaya asli lokal, menjadi bernafaskan islam. Dengan pemahaman tersebut, maka pada ushul nya, budaya - budaya lokal disesuaikan dengan beberapa tatanan pokok koridor islam yang bersumber pada sumber penetapan hukum dan pendapatan para ulama.

Tradisi Islam di Nusantara


Sedekah Bumi seabgai contoh budaya islam nusantara


Prof Hasbi Ash Shiddqie, pada saat mengisi Dies Natalis pertama IAIN Sunan Kalijaga, pada tahun 1961 di Yogyakarta mengutarakan ide besar dalam pidatonya tentang "Fiqh Indonesia". Fiqh Indonesia adalah fiqh yang ditetapkan sesuai dengan kepribadian Indonesia, sesuai dengan tabiat dan watak Indonesia. 

Gusdur sendiri pernah menginggung tentang ide "pribumisasi Islam" pada dekade 80-an. Konsep Pribumi islam bukan berusaha mengubah islam, melainkan manifestasi dari kehidupan agama Islam. Dijelaskan lebih lanjut bahwa pribumisasi islam tidak berusaha menggalakkan gerakan jawanisasi, melayusisasi atau sinkretisme. Pribumisasi islam adalah bentuk upaya agar islam dapat dipahami dengan mempertimbangkan faktor - faktor yang bersifat kontekstual, termasuk kesadaran hukum dan keadilannya. 

Dengan begitu, Islam Nusantara bukan merupakan gagasan untuk menetapkan hukum baru. Islam nusantara merupakan tata cara penerapan Islam sesuai dengan kebutuhan lokal. Dengan begitu, Islam Nusantara bukan pola pikir yang bersimpangan dengan Islam, namun metode dakwah Islam yang berupaya mengganti budaya non Islam dengan penerapan Islam yang kontekstual.

Di Arab, Posisi syair memiliki tingkatan tertinggi dalam budaya setempat. Maka, Mujizat nabi Muhammad bukanlah tongkat yang membelah lautan, bukan pula merubah batu menjadi unta atau mujizat lainnya seperti dapat berbicara dengan binatang. Mujizat nabi paling tinggi justru adalah Al-Qur;an yang diakui sebagai karya sastra Illahi. Tidak ada satupun manusia yang dapat menciptakan karya sastra sekelas Al Qur-an. Konteks budaya yang ditetapkan sebagai jalur metode, nyatanya dicontohkan oleh Allah berupa Al-Qur;an.

Di dalam Al-Quran sendiri, terdapat dua hukum yang kita sebut sebagai Nasikh dan Mansukh. Ayat - ayat nasikh dan Mansukh adalah penyesuaian terhadap kehidupan manusia yang terus berkembang. Selain itu, konteks ayat yang diakui oleh para ahli qur'an yaitu berupa ayat Makiyah dan Madaniyah, adalah bentuk toleransi Allah kepada hambanya yang terbentuk dari beberapa fase kehidupan.

Tidak heran jika kemudian Al Quran diturunkan secara berangsur - angsur sesuai dengan tahapan - tahapan bangsa arab pada saat itu. Di ceritakan pada awal diharamkannya Khamr, bangsa arab meskipun sudah islam, masih mengkonsumsi Khamr, budaya tersebut kemudian berangsur diharamkan setelah bangsa arab mencapai titik tertentu.

Dalam tulisan KH Husein Muhammad, terdapat hal - hal yang ada di dalam ajaran Islam yang berlaku baku ( tetap, tidak berubah - ubah ) serta hal - hal yang berubah - ubah. Hukum - hukum baku berkaitan dengan masalah ushul seperti Tauhid, keimanan, serta tata cara ibadah Mahdoh yang tidak bisa dirubah dengan alasan apapun. Hukum - hukum yang bisa berubah atau dikenal sebagai istilah Al-mutaghayyirat berkaitan dengan prinsip kehidupan manusia dengan manusia ( hablumminannas ), manusia dan alam ( Al Awa'id ). Dalam islam, hubungan tersebut adalah Muammalat.

Muammalat dan Al Awaid adalah sektor kehidupan yang dinamis serta memiliki kemungkinan berubah yang tinggi. Cakupan yang dibahas akan sangat kompleks karena budaya tiap daerah memiliki urf yang berbeda. Maka, dengan berpatokan pada konsep tersebut, ada baiknya kita kembalikan pada salah satu kaidah ushul fiqh yaitu "


ﻛﻞ ﻣﺎ ﻭﺭﺩ ﺑﻪ ﺍﻟﺸﺮﻉ ﻣﻄﻠﻘﺎ ﺑﻼ ﺿﺎﺑﻂ ﻣﻨﻪ ﻭ ﻻ ﻣﻦ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﻳﺮﺟﻊ ﻓﻴﻪ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻌﺮﻑ
“ semua yang datang dari syara’, secara mutlak, tidak ada ketentuannya dalam agama dan tidak ada dalam bahasa, maka dikembalikan kepada urf’.” (As-suyuthi, Jalaluddin. Al-asybah wan-nadzoir . Darul Kutub Ilmiah. 1990. )
Merujuk pada penjelasan di atas, ulama terdahulu yang mendakwahkan Islam di Indonesia. Mencoba menggunakan budaya untuk mengenalkan Islam serta mengikis sisi - sisi kefasadan budaya agar bersih dari praktik - praktik non islami.

Produk budaya yang kemudian dikenal sekarang ini adalah nyanyian seperti Lir Ilir, Turi Putih atau Gundul - gundul pacul. Selain itu, perubahan cerita wayang yang berasal dari India, disesuaikan dengan prinsip Islam.

Pada perjalanannya, budaya - budaya setempat ( local wisdom ) adalah strategi ampuh dalam menanamkan nilai - nilai islam. Penyembahan kepada pohon atau arwah, diganti dengan mengadakan tahlilan, sesajen kemudian diganti dengan tumpeng sebagai bentuk kehidupan yang tertuju pada Yang Maha Satu dan Yang Maha Tinggi. Manifestasi islam yang ditanamkan melalui budaya menjadikan tradisi islam nusantara berkembang dan dapat diterima oleh masyrakat yang sudah ribuan tahun menganut ajaran kepercayaan.

Dalam bahasa Muhammadiyah, Islam adalah Islam Berkemajuan. Penerapan yang dinamis sesuai dengan kondisi perkembangan zaman. 

Sumber : Disarikan dari buku Islam Nusantara 

Tahlilan Sebagai Kearifan Lokal Islam di Nusantara

October 03, 2018
Islam hadir ditengah kehidupan manusia tidak  dalam kondisi hampa budaya. Aspek sosial budaya yang sudah tertanam di masyarakat bukan produk fisik yang dapat dihancurkan dengan bom . Perlu ada tahapan - tahapan untuk merubah sebuah kebiasaan untuk sampai pada i'tiqod dan karakter. 

Tahlilan yang dituduh sebagai praktik Tasyabuh kepada kaum kafir khususnya Hindu, merupakan suatu amalan yang telah menyebar luas di negara Indonesia khususnya Jawa. Titik perdebatan paling kentara adalah soal kenduren yaitu acara tahlilan yang dilaksanakan pada tujuh hari setelah meninggalnya seseorang. 

Beberapa sebab kerasnya penolakan pada acara kenduren ini diantaranya adalah karena dianggap sebagai bid'ah. Alasan memberatkan shohibul musibah serta menyerupai kebudayaan hindu juga menjadi sebab mengapa tahlilan kenduren di anggap sesat. 

sebagai salah satu tradisi islam di nusantara yang sudah mengakar kuat di masyarakat, kiranya perlu kedalaman akal dan kejernihan hati dalam menghukumi persoalan ini. Tidak sekedar tekstualitas sumber dalam proses istinbath hukum, pengenalan pada konteks dan hakikat dari yang dihukumi juga  harus dipahami secara seksama sebagai modal awal untuk memberikan fatwa. 

Penulis tidak ingin menghukumi perkara tahlilan dari segi ahli fiqih, terlalu banyak pembahasan yang pada akhirnya berujung pada ikhtilaf ulama. Saya hanya akan membahas beberapa kearifan lokal pada praktik tahlilan yang sesuai dengan ajaran islam.

tahlilan sebagai tradisi islam di nusantara

TAHLILAN Sebagai Tradisi Islam Nusantara

Salah satu alasan mengapa para pembenci tahlil menolak tahlilan adalah pemberatan ahlul musibah atas hidangan kepada para tamu maupun mereka yang hadir mendoakan pada acara tahlilan. Golongan tersebut justru menyarankan untuk membawa makanan kepada shohibil musibah, bukan memakan hidangan dari tuan rumah. 

Mengenai hal ini, Imam Syafii telah berkata dalam kitabnya Al Umm 
وَاُحِبُّ لِجِیْرَانِ الْمَیِّتِ اَوْذِيْ قَرَابَتِھِ اَنْیَعْمَلُوْا لاَھْلِ الْمَیِّتِ فِىْ یَوْمِ یَمُوْتُ وَلَیْلَتِھِ طَعَامًا مَا
یُشْبِعُھُمْ وَاِنَّ ذَلِكَ سُنَّةٌ.

Saya menyukai bagi tetangga mayit atau kerabatnya memasakkan makanan untuk keluarga mayit pada hari kematian dan malam harinya yang dapat mengenyangkan. Karena hal itu termasuk sunah dan menjadi kenangan yang baik serta  termasuk perbuatan orang dermawan sebelum dan sesudah kami.” (Al-Umm, 1/317)

pendapat imam syafii tersebut didasarkan pada hadits nabi yang berbunyi :
Fatwa Imam Syafie di atas ini adalah berdasarkan hadis sahih:
قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنِ جَعْفَرَ : لَمَّا جَاءَ نَعْيُ جَعْفَرِ حِیْنَ قُتِلَقَ الَ النَّبِ ي صَ لَّى اللهُ عَلَیْ ھِ وَسَ لَّمَ :
اِصْنَعُوْا لآلِ جَعْفَرِ طَعَامًا فَقَدْ اَتَاھُمْ مَایُشْغِلُھُمْ . (حسنھالترمزى وصححھ الحاكم)
Tatkala berita kematian Ja’far, Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam- berkata : Masakkan makanan untuk keluarga Ja’far, sungguh telah datang kepada mereka sesuatu yang menyibukkannya.” (HR. Tirmizi, no. 998, dinyatakan hasan oleh Abu Dawud, no.  3132, ibnu Majah, no.  1610)

Secara tekstual, perintah yang dianjurkan adalah membawa makanan. Untuk masyarakat di Indonesia, bukan makanan yang diantar kepada keluarga mayyit namun beras dan uang. Penggantian makanan menjadi beras atau uang apakah kemudian menjadikan bid'ah pula?

Membawa beras atau uang untuk keluarga si Mayyit termasuk pada adat kebiasaan setempat. Hal ini akan lebih baik jika dikembalikan kepada qowaidul fiqhiah 

والأصل في عاداتنا الإباحة حتى يجيء صارف الإباحة
“Asal ( hukum ) pada masalah adat kami adalah boleh, sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum boleh ( kepada hukum lain ).” [ Risalah Fi Qowaidil Fiqhiyyah : Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di )

kaidah fiqh fiqh di atas memperbolehkan suatu kebiasaan asalkan tidak ada dalil yang mengharamkan. Selain itu, di dalam salah satu kitab fenomenal karangan Al-imam An Nawawi, Syarh Shohih Muslim (15/166) disebutkan :

قَالَ الْعُلَمَاءُ قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ رَأْيِي أَيْ فِي أَمْرِ الدُّنْيَا وَمَعَايِشِهَا لَا عَلَى التَّشْرِيعِ
“Para ulama’ berkata : ( Maksudnya ) ucapan nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam- yang berasal dari pendapat beliau sendiri dalam masalah dunia dan kehidupannya bukan dalam masalah penetapan syari’at”.

Maka sudah jelas bahwa hukum adat istiadat yang tidak bertentangan dengan syariat maka diperbolehkan. Adapun adat yang dimaksud di sini adalah 

عِبَارَةٌ عَمَّا اسْتَقَرَّ فِي النُّفُوسِ مِنَ الأُْمُورِ الْمُتَكَرِّرَةِ الْمَقْبُولَةِ عِنْدَ الطَّبَائِعِ السَّلِيمَةِ

“Ungkapan tentang suatu yang telah tetap dalam jiwa-jiwa dari perkara-perkara yang berulang-ulang yang diterima di sisi tabi’at-tabi’at yang masih selamat.” [ Al-Asybah Wa Nadzoir )

Kearifan lokal bergotong royong sudah kental di masyarakat indonesia. Islam Nusantara sebagai konsep aplikatif berusaha mengakomodir kearifan lokal untuk penanaman nilai - nilai islam. Bukan hanya soal memberikan makanan atau uang, fakta di lapangan, masyarakat berduyun - duyun membantu pemakaman, pembuatan tarub untuk para tamu, memasakkan makanan termasuk pula mendoakan si mayyit dengan ikhlas. 


Penulis sendiri pernah menghadiri tahlilan kematian yang dilaksanakan tanpa adanya hidangan apapun. Masyarakat tetap mau mendoakan mayyit. Bahkan ketika tahlilan tersebut tetap terdapat hidangan, uang yang didapat dari sumbangan warga, digunakan untuk membeli hidangan yang disajikan sebagai sedekah dari keluarga mayyit yang pahalanya diniatkan untuk si mayyit. 

Ini adalah salah satu kearifan lokal yang masih tetap terjaga hingga saat ini. Lalu, dimanakan letak kesalahan dari adat tersebut? 

Ungkapan diharamkannya berkumpul di tempat mayyit (al mattam ) seperti yang disebutkan oleh imam syafii, erat kaitannya dengan kebiasaan jaman jahiliyah. Ketika seorang mati, orang - orang berkumpul untuk meratapi, menangisi dan mengulang - ulang masa lalu mayyit yang pada akhirnya justru menyakitkan keluarga. Bahkan, terdapat kebiasaan membayar para penangis agar ikut menangisi kepergian si mayyit sebagai tanda betapa dicintainya si mayyit. 

Kebiasaan tersebut masih lekat di masyarakat arab pada saat itu. Inilah kenapa, Imam Syafii kemudian membenci Al-Mattam ( berkumpul di tempat mayyit ). Berbeda dengan yang terjadi di Indonesia. Berkumpulnya orang - orang di tumah si mayyit bukan bertujuan untuk meratapi, tapi justru menemani si keluarga mayyit agar tidak tenggelam dalam kesedihan. Selain itu, berkumpulnya masyarakat adalah dengan mendoakan mayyit bukan untuk sesuatu yang sia - sia. 

Dari sejumlah pemikiran di atas, tahlilan adalah tradisi islam di nusantara yang sepatutnya tetap dijaga dan dilestarikan sebagai bentuk kearifan lokal yang islami. Selain itu, semangat gotong royong yang terpupuk dan terjaga di masyarakat tetap saja harus dijadikan sebagai budaya yang baik. 

Maulidan, Sholawatan, Tahlilan Adalah Tradisi Islam Di Nusantara

October 02, 2018
Maulidan, Sholawatan, Tahlilan Adalah Tradisi Islam Di Nusantara ~ Contoh tradisi islam di Nusantara adalah maulidan, sholawatan, tahlilan, ziarah, grebeg maulid dan lain sebagainya. Tradisi tersebut lazim di rutinkan oleh kaum nahdliyin di indonesia. Namun, istilah islam nusantara sesat katanya, lalu, apa maksud islam nusantara menurut ulama Indonesia?

Tahun 2015, saat Jombang sedang kerawuhan para kyai dan pengurus NU se-Indonesia dalam gelaran Muktamar NU ke- 33. Istilah Islam Nusantara digaungkan sebagai tema utama. "Meneguhkan Islam Nusantara untuk peradaban Indonesia dan dunia". Sontak, istilah Islam Nusantara menjadi perbincangan publik. 

Bagi PBNU, menurut Rais Syuriyah PBNU KH Masdar F Mas’udi, diusungnya tema Islam Nusantara disebabkan oleh kondisi peradaban dunia saat ini. Sejarah kelam tenggelamnya Irak dan Syuriah dalam perang berdarah menjadi bukti nyata bahwa isu agama telah dijadikan sebagai alasan untuk melakukan kekerasan. Untuk itu, Banser berdiri tegak membela NKRI dengan pancasilanya dan siap berhadapan dengan siapapun yang menghancurkan aswaja seperti HTI

Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, berpeluang terjadinya disintegrasi dan perpecahan dengan dalih agama. Di tambah lagi, heterogenitas Indonesia yang terdiri atas beragam suku, bahasa, bangsa dan adat budaya, resiko perpecahan yang menyangkut isu syara, akan sangat mudah membakar emosi masyarakat. 

Karenanya, PBNU memandang, tema Islam Nusantara sangat tepat dijadikan sebagai tema utama agar bangsa Indonesia dapat menjalankan keislamannya sesuai dengan kondisi di Indonesia. Penerapan Islam Nusantara bukan berarti menganggap bahwa Islam di Arab tidak lebih baik dari Islam Nusantara, Pun tidak meninggikan islam Nusantara sebagai islam tertinggi dibandingkan islam di negara lain.

Penerapan Islam Nusantara hanya soal konteks dan pengaplikasian islam sesuai dengan kondisi Nusantara. Justru dengan adanya Islam Nusantara, menjadi bukti bahwa Islam begitu tinggi dengan sifat rahmatan Lil Alaminnya. Bukan hanya soal tradisi, Islam Nusantara juga berusaha menyerap perkembangan zaman termasuk digita atau IT. Karenanya, sahabat - sahabat internet marketer membentuk IMNU.

Berikut contoh amalan seperti Maulidan, sholawatan, tahlilan adalah tradisi islam Nusantara. Bagaimana penerapan islam nusantara dilakukan di beberapa kegiatan yang menjadi adat kebiasaan setempat. Karenanya, akan kita bahas beberapa contoh pengaplikasian konsep islam nusantara dalam budaya masyarakat. 

Maulidan, Sholawatan, Tahlilan Adalah Tradisi Islam Di Nusantara


Maulidan, Sholawatan, Tahlilan Adalah Tradisi Islam Di Nusantara
Ritual Bunga Lado di acara Maulidan ( liputan6.com)


Maulidan

Maulidan secara khusus adalah merayakan kelahiran nabi Muhammad SAW. Umumnya kegiatan mauludan diadakan dengan menggelar pembacaan sholawat atau pengajian - pengajian. Namun, di beberapa daerah, terdapat tradisi mauludan yang berbeda. 

Contohnya di Madura, di Madura terdapat ritual Mauludhen. Kegiatan ini hampir sama dengan acara grebek mulud yang biasanya terdapat arak - arakan buah - buahan. Buah - buahan yang telah di tata dengan cara di tusuk lidi itu kemudian di bawa ke masjid Agung pada tanggal 12 Rabiul Awal. 

Berbeda lagi perayaan maulidan di Padang, di kota ini terdapat tradisi islam berupa Bunga Lado. Lado berasal dari bahasa Padang yang berarti cabai. Biasanya cabai  sebelum berbuah akan berbunga terlebih dahulu. Kebanyakan warga padang memang merupakan petani cabai, karenanya, ritual ini sebagai perumpamaan untuk mendapatkan berkah sebelum panen tiba. 

Bunga Lado adalah pohon hias yang daun - daunnya terdiri dari uang dengan nominal beragam. Uang tersebut nantinya dikumpulkan untuk pembangunan rumah ibadah. Konsep dari tradisi ini adalah bersedekah untuk keberkahan. Dengan sedekah, maka diharapkan rizki akan dilancarkan. 

Selain ritual Muludhen dan Bunga Lado, beberapa tradisi islam di nusantara lainnya adalah kirab Ampyang, Grebeg Maulud, Keresen dan masih banyak lagi. Tradisi maulidan ini merupakan akulturasi budaya di mana Islam dapat masuk kedalam kebudayaan nusantara. Maulidan adalah tradisi islam di Indonesia yang perlu di pertahankan, selain sebagai bentuk syukur atas kelahiran Nabi, Maulidan juga memiliki beberapa hikmah yang sesuai dengan kearifan lokal. 

Maulidan selain sebagai perayaan kelahiran nabi, dalam istilah lainnya juga merupakan kegiatan pembacaan sirah nabi. Kegiatan ini jika di telusuri lebih dalam, merupakan hasil dari kebudayaan arab yang sudah ada sejak pra islam. 

Tercatat bahwa Arab pra islam sangat menyukai syair yang berisi pengagungan pada hal yang dicintai serta kebencian pada musuh. Setelah masuknya Islam, syair tersebut kemudian mulai berganti wajah menjadi pengagungan kerinduan kepada sang Khaliq atau syair cinta untuk Nabi Muhammad. 

Beberapa karya monumental yang hingga kini masih sering dibaca di seluruh dunia adalah Maulid Ad-dibai, Maulid Barzanji, Maulid Simtud Duror. Selain itu, terdapat pula beberapa qosidah tentang pengagungan nabi Muhammad seperti maha karya imam Bushiri dengan Burdahnya. 




 Sholawatan

Sholawat merupakan bentuk jama' dari kata Shola yang berarti doa. Secara umum,sholawat merupakan pujian kepada Nabi Muhammad. Sebagian yang lain memandang sebagai doa, namun sejatinya Nabi tidak membutuhkan doa manusia. Justru sholawat bukan diperuntukkan kepada Nabi yang ma'shum namun untuk umat nabi Muhammad yang membutuhkan syafaatnya. 

Perdebaan yang terjadi dalam perkara sholawat adalah hukum sholawat yang redaksinya tidak bersumber dari nabi. 

Untuk itu, ulama kemudian membagi sholawat menjadi dua macam dilihat dari sumbernya. Yaitu sholawat Matsurat dan Ghoiru Matsurat. Sholawat Matrurat adalah sholawat yang redaksinya berasal dari Nabi Muhammad. Beberapa sholawat jenis ini adalah bacaan :

صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ (shalallahu ‘alaihi wa sallam) dan
عَلَيْهِ الصّلاَةُ وَالسَّلاَمُ (‘alaihish shalaatu was salaam).
termasuk pula di dalamnya sholawat Ibrahimiyah seperti yang biasa di baca ketika tasyahud Akhir. 

Sholawat Ghoiru Matsurat merupakan sholawat yang redaksi dan cara membacanya tidak berasal dari nabi Muhammad. Meskipun bukan berasal dari Nabi Muhammad, sholawat tersebut juga banyak diamalkan karena pengarangnya merupakan ulama besar yang tidak diragukan lagi keilmuannya. 

Beberapa contoh shoalwat ghoiru matsurot adalah sholawat thibbil qulub, nariyah atau sholawat al-fath. 

Kalangan salafi, tidak memperbolehkan membaca sholawat Ghoiru Matsurat karena termasuk bid'ah. Namun, pada praktiknya, membaca sholawat yang dikarang oleh selain nabi merupakan bentuk dzikir dan doa serta pengagungan umat kepada NabiNya. 

Bahkan beberapa sahabat seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Mas'ud menyusun sholawat karangannya sendiri. Imam Syafi'i pun menulis sholawat :
صَلَّى اللهُ عَلٰى مُحَمَّدٍِ عَدَدَ مَا ذَكَرَهُ الذَّاكِرُوْنَ وَعَدَدَ مَا غَفَلَ عَنْ ذِكْرِهِ اْلغَافِلُوْنَ
Jika diperhatikan lagi, apabila si pembaca berdosa karena mengamalkan sholawat yang bukan dari nabi, maka lebih berdosa mereka yang menulis kesesatan tersebut yang mana menjadi sumber kesesatan. 

Pertanyaannya, apakah kemudian kita berani menyesatkan sahabat nabi dan ulama besar sekelas imam Syafii?

Mukodimah tentang sholawat yang saya jelaskan di atas bertujuan agar anda faham duduk perkara tentang sholawatan. Kebanyakan acara sholawatan memang bukan hanya membaca sholawat Matsurat namun juga qosidah sholawat yang dikarang oleh banyak ulama. 

Tradisi membaca sholawat yang biasanya diiringi dengan duff, rebana, gambus, kendang dan lain sebagainya menjadi warisan budaya sekaligus tradisi islam nusantara yang semakin membumi di tanah nusantara ini. 

Peran habaib sangat penting dalam penyebaran tradisi sholawatan. Salah satu habib yang aktif medakwahkan sholawat adalah habib Abdul Qodir Assegaf.

Tahlilan 

Tahlilan sebagai tradisi islam  nusantara merujuk pada acara doa bersama dengan melafalkan dzikir - dzikir. Secara bahasa, tahlilan berasal dari Halal, Yuhallilu, tahlilan yang berarti mambaca kalimat tauhid Laa Ilaha Illallah. Menjadi perdebatan karena di dawamkan secara bersama - sama serta dilaksanakan untuk mendoakan orang mati pada tujuh hari masa kematian, 40 hari, 100 hari sampai 1000 hari. 

Kesalahan berfikir yang terjadi adalah bahwa Tahlilan disebut sebagai perkara bid'ah yang tidak ada dalilnya. Selain itu, Tahlilan juga acap kali merupakan bentuk Tasyabuh kepada umat hindu. Ini adalah logika yang salah. 

Padahal, yang dibaca dalam acara tahlilan semuanya adalah bacaan dzikir. Selain itu, pelaksanaan tahlilan di hari - hari tertentu diperbolehkan oleh Nabi Muhammad. 

Menjadi salah satu kearifan lokal bahwa nusantara kita memang memiliki kebiasaan gotong royong. Kebiasaan ini diusung dalam bingkai islam dengan bentuk mendoakan secara berjamaah atas mayit sebagai bentuk kepedulian. 

Selain itu, masyarakat Nahdliyin khususnya di Jawa terbiasa mengadakan selamatan bukan hanya ketika terjadi kematian, namun juga ketika memulai usaha, menempati rumah baru, membeli kendaraan baru atau akan melakukan perjalanan jauh. 

Bacaan tahlil yang dibaca adalah bentuk doa sekaligus mendoakan keluarga yang telah wafat. Hal tersebut tentu sangat baik karena dapat dijadikan sebagai salah satu sarana untuk tetap berbakti bahkan kepada mereka yang telah di panggil oleh Allah SWT.

Contoh Tradisi Islam di Nusantara

Sebelum datangnya islam, masyarakat di indonesia telah memiliki budaya lokal yang berbau hindu, budha maupun aliran kepercayaan seperti Animisme dan Dinamisme. Masuknya agama islam ke Indonesia di dominasi oleh jalur perdagangan yang kemudian terjadilah interaksi dua budaya arab islam dan indonesia dengan kenusantaraannya.

Pada awal masuknya islam, sistem pemerintahan yang ada di sepanjang wilayah Indonesia merupakan kerajaan - kerajaan. Maka, hierarki kekuasaan mutlak berada di tangan raja. Sementara raja yang berkuasa dianggap sebagai pengejawantahan wujud dewa yang ada di bumi.

Kebudayaan lokal nusantara pun dijaga dengan sangat kuat. Mubaligh awal islam nusantara, mencapai titik dimana mereka harus menyesuaikan metode dakwah dengan budaya lokal setempat. Ulama terdahulu paham betul bahwa budaya nusantara sudah teramat lekat dalam kehidupan sehari - hari masyarakat, untuk bisa mengganti budaya - budaya peninggalan agama hindu dan budaya hanya terdapat dua jalur kemungkinan.

Peperangan fisik atau akulturasi budaya. Ulama islam nusantara lebih mengedepankan metode dakwah dengan kaidah bil hikmah daripda menggunakan pedang, karenanya, ulama terdahulu memasukkan nilai - nilai islam nusantara pada praktik budaya lokal.

Sunan kalijaga misalnya, merubah cerita wayang dengan memasukkan nilai islam seperti Jimat Kalimasada atau menanamkan akhlak islam melalui lagu seperti lir - ilir, turi putih dan lain sebagainya. Maulidan, Sholawatan, Tahlilan adalah tradisi islam di nusantara yang dihasilkan dari hasil ijtihad ulama nusantara. Maka, pencetus islam nusantara tidak lain adalah ulama terdahulu termasuk Walisongo.

Maulidan sebagai tradisi islam nusantara maupun sholawatan yang merupakan amalan islam di nusantara sudah sangat melekat. Beberapa contohnya ada pada grebeg maulid yang membawa sedekahan bumi untuk di arak dan dibagikan kepada masyarakat.

Tahlilan dan islam di nusantara pun berusaha mengganti ritual hindu yang menyembah dewa, memberi sesembahan manusia sebagai tumbal di gantikan dengan acara doa bersama kepada Allah SWT serta sesajian berupa makanan yang diberikan kepada tetangga.

Praktik tersebut tentu saja boleh dilakukan, karena nilai dari budaya adalah sesuatu yang dibolehkan selama tidak terdapat keharaman yang jelas seperti kesyirikan.

Demikianlah artikel tentang Maulidan, Sholawatan, Tahlilan Adalah Tradisi Islam Di Nusantara yang semoga memberikan kefahaman sehingga tidak saling menyalahkan dan menuduh sesat.